MILEZONE.ID – Dalam upaya penanggulangan cacar monyet (monkeypox/mpox), Kementerian Kesehatan (Kemenkes) memperkuat surveilans atau penemuan kasus aktif di seluruh fasilitas kesehatan.
Kemenkes juga bekerja sama dengan komunitas atau relawan untuk menjangkau kelompok-kelompok tertentu untuk bisa melakukan deteksi, terutama mencari kontak erat.
“Mpox ini meskipun disebut penyakit menular tapi risiko penularannya tidak mudah. Berbeda dengan cacar air yang penularannya sangat cepat, Mpox ini relatif lambat. Ini juga tergantung dari daya tahan tubuh setiap orang,” ujar dr. Prasetyadi Mawardi, Sp. D.V.E., Subsp. Ven., FINSDV, FAADV dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia, dikutip Jumat (27/10/2023).
Kasus konfirmasi cacar monyet di Indonesia hingga 26 Oktober 2023 sebanyak 14 kasus. Sebagian besar dari kasus tersebut dialami oleh laki-laki yang melakukan seks dengan sejenis.
Karakteristik dari 14 kasus konfirmasi paling banyak berusia 25-29 tahun sebanyak 64 persen, sedangkan sisanya berusia 30-39 tahun sebanyak 36 persen. Semua pasien konfirmasi adalah laki-laki dan tertular melalui perilaku seks berisiko.
Masih dari 14 kasus konfirmasi, 12 dilaporkan dari DKI Jakarta dan 2 kasus dari Tangerang. Sementara 12 kasus diketahui merupakan laki-laki seks dengan sejenis, 1 biseksual, dan 1 heteroseksual.
Kondisi penyakit penyerta dari 14 pasien itu, 12 di antaranya ODHIV dan di samping itu ada 5 pasien dengan penyakit Sifilis.
Selanjutnya, 13 pasien bergejala dan hanya 1 asimptomatis. Gejala paling banyak berupa lesi pada kulit (ruam merah, krusta, bernanah) disertai demam atau ada pembengkakan kelenjar, terutama di bagian paha.
Sakit menelan, nyeri tenggorokan, sakit otot, menggigil, badan sakit, kelelahan, mual, bahkan ada yang sampai diare.
“Ini gejala-gejala yang umumnya ada pada penderita Mpox. Tapi yang spesifik untuk membedakan Mpox dengan cacar air adalah adanya limfadenopati atau pembengkakan kelenjar getah bening,” kata Direktorat Jenderal (Dirjen) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes dr. Maxi Rein Rondonuwu.
Kemenkes juga meminta pasien melakukan isolasi dan memberikan terapi. Rata-rata pasien diisolasi di rumah sakit dan pengobatannya memang lebih banyak ke suportif. Pasien juga diberi obat antivirus dan antibiotik kalau gejalanya parah.
“Semua pasien saat ini dalam kondisi stabil, jadi dalam kurun waktu 1 sampai 2 minggu lesi pada kulitnya mulai hilang dan kalau kondisinya bagus pasien bisa dipulangkan,” tukasnya.