MILEZONE.ID – Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Charles Honoris mengingatkan Pemerintah agar tidak fokus pada penanganan polusi udara untuk jangka pendek saja, namun perlu membuat rencana jangka panjang guna melindungi masyarakat dari tercemarnya udara.
Khususnya untuk wilayah DKI Jakarta, mengingat ibu kota masih menjadi salah satu kota besar dengan polusi udara terburuk di Indonesia.
Situs pemantauan kualitas udara, IQAir menempatkan Jakarta sebagai kota besar paling berpolusi di dunia pagi ini. Udara di Jakarta disebut tidak sehat.
Dilihat dari situs IQAir, Selasa (19/9/2023) pukul 09.30 WIB, indeks kualitas udara Jakarta berada pada angka 165. Polutan utamanya ialah PM 2,5.
“Penempatan Jakarta sebagai kota besar paling berpolusi di dunia pada Selasa pagi, berdasarkan data IQAir, telah membunyikan lonceng ‘tanda bahaya’ bagi kesehatan warga ibu kota dan sekitarnya,” ujar Charles dalam keterangan tertulisnya, Selasa (19/9/2023).
Dia menyebutkan, kontaminasi zat sumber polusi udara (PM 2.5) yang sudah 16,6 kali lebih tinggi dari standar WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) akan membawa berbagai penyakit berbahaya.
DKI Jakarta diketahui menjadi kota terpolusi pertama di dunia di atas Dubai, Kuching, Riyadh dan Ho Chi Minh. Bahkan IQAir menyarankan warga Jakarta untuk menggunakan masker saat berada di luar ruangan karena kandungan polusi ibu kota sangat mengkhawatirkan.
Berdasarkan hal tersebut, Charles menilai peraturan yang diberlakukan saat ini guna mengatasi polusi udara di DKI Jakarta belum maksimal. Salah satunya kebijakan work from home (WFH) yang sudah dilakukan sejak beberapa waktu belakangan di lingkungan Pemprov (Pemerintah Provinsi) DKI.
“Tanda bahaya ini tidak bisa diselesaikan hanya dengan cara sporadis seperti aturan WFH dan imbauan penanaman pohon saja. Namun harus dengan cara komprehensif dan berkelanjutan, yakni lewat sebuah roadmap yang melibatkan berbagai pemangku kebijakan untuk turut bersama-sama secara masif menurunkan polutan,” imbuh Charles.
Pemprov DKI telah menerapkan kebijakan WFH untuk merespons tingkat polusi udara yang tinggi. Selain itu, ada juga kebijakan tilang uji emisi bagi kendaraan yang dinyatakan tidak lolos. Lalu ada pula kebijakan memperluas ganjil genap dan memasifkan penggunaan transportasi publik.
Baru-baru ini, Pemprov DKI juga melakukan siasat untuk menekan polusi udara dengan melakukan penyemprotan air di sejumlah ruas jalan di ibu kota. Namun begitu, Charles menilai seharusnya Pemerintah pusat ikut memantau perkembangan kebijakan Pemprov DKI dalam menekan polusi udara.
“Presiden jangan terlihat pasrah dalam menghadapi masalah polusi udara ini,” tegas Legislator dari Dapil DKI Jakarta III tersebut.
“Tetapi harus memegang komando utama dengan membuat roadmap dan memimpin semua pemangku kebijakan untuk menjalankannya. Serta melakukan pengawasan, termasuk lewat penegakan hukum yang tegas,” lanjut Charles.
Charles menekankan, kesuksesan Pemerintah dalam mengurangi polusi udara seharusnya bisa dirasakan dampaknya oleh masyarakat. Charles menyayangkan meski sudah banyak kebijakan yang dibuat untuk DKI, tapi kualitas udara di ibu kota masih menjadi yang paling berpolusi di dunia.
“Sukses tidaknya penanganan polusi udara adalah hal yang sangat bisa dilihat dan dirasakan langsung oleh warga masyarakat. Seperti kata Presiden, banyak orang Jakarta batuk-batuk akibat polusi udara,” ungkapnya.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, diketahui jumlah masyarakat yang terjangkit penyakit ISPA di Jakarta pada tahun 2023 sebanyak 638.291 kasus. Jumlah tersebut merupakan data kumulatif dari Januari hingga Juni 2023.
“Artinya, kalau masih banyak orang Jakarta batuk-batuk, berarti penanganan polusi udara oleh Pemerintah masih jauh dari sukses,” tutup Charles.