Hardnews

Dibalik Riset BRIN Tentang Program KB

Jakarta,Milezone.id-KEMENDUKBANGGA/BKKBN Desain Besar Pembangunan Kependudukan (DBPK) yang digadang-gadang beberapa tahun belakangan ini akhirnya bermuara pada satu titik. Peta Jalan Pembangunan Kependudukan (PJPK) ditetapkan menjadi _tools_ mendukung pilar DBPK. Pengampu PJPK datang dari banyak sektor.

 

Salah satu pengampu adalah Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (Kemendukbangga)/BKKBN. Dari 30 Indikator PJPK, Kemendukbangga/BKKBN kebagian mewujudkan tujuh indikator.

 

Ketujuh indikator itu adalah _Total Fertility Rate (TFR), Age-Specific Fertility Rate (ASFR)_ 15-19 Tahun. Termasuk proporsi kebutuhan pelayanan Keluarga Berencana (KB) yang terpenuhi, Indeks Pembangunan Keluarga (I-bangga), Indeks Lansia Berdaya, Indeks Pengasuhan Keluarga yang memiliki remaja, dan persentase Kampung Keluarga Berkualitas Mandiri.

 

Dalam sebuah Workshop Buku _“Indonesian Family Planning : Perspectives From The 2021 Family Enumeration Survey”_, beberapa dari tujuh indikator tersebut diteliti melalui riset. Pelaku riset adalah Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).

 

Riset dilakukan di bawah bayang-bayang keberhasilan bangsa ini membumikan program Keluarga Berencana (KB), yang secara serius telah diluncurkan pemerintah sejak awal 1970, di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Kala itu “political will” presiden hingga aparat daerah terhadap program KB begitu kuat. Termasuk lembaga donor asing.

 

Dalam workshop yang berlangsung di Jakarta, Senin (27/10/2025) lalu, diketahui melalui data bahwa TFR negeri ini berhasil anjlok dari 5,6 di 1970-an menjadi 2,11 dewasa ini.

 

Dengan berkurangnya TFR, kini Indonesia memiliki kesempatan untuk memperbesar usia produktif ketimbang non-produktif. Kondisi ini disebut sebagai bonus demografi, dan Indonesia telah memasukinya.

 

Tentu perjuangan 50-an tahun dalam program pengendalian pertumbuhan penduduk itu jangan dibiarkan berlalu begitu saja. “Harus dimanfaatkan,” tandas Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/Kepala BKKBN di banyak kesempatan.

 

Saat ini, Indonesia dihuni sekitar 70% penduduk usia produktif. Bisa diartikan, dalam satu keluarga ada dua orang yang bekerja dalam usia produktif.

 

• Penggunaan Kontrasepsi Modern

 

Di tengah keberhasilan itu, dan adanya tuntutan data terkait PJPK, sejumlah peneliti BRIN “turun gunung”. Mereka serempak menggelar riset. Adalah Anastasia Septya Titisari bersama tim meriset akses dan penggunaan alat kontrasepsi modern.

 

Apa yang direkomendasikan? Ada beberapa. Mereka merekomendasikan pentingnya perkuatan kapasitas kelembagaan di wilayah-wilayah dengan kinerja rendah. Di dalamnya termasuk pentingnya pula melibatkan pemerintah daerah, tokoh adat, dan tokoh agama dalam advokasi KB.

 

Ia juga berharap Kemendukbangga/BKKBN memperluas keterlibatan laki-laki dalam pengambilan keputusan kontrasepsi. “Penting pula memastikan alokasi sumber daya dan integrasi data yang adil,” terangnya.

 

• Unmet Need dan Faktor Penentu

 

Peneliti BRIN lainnya, Afi Nursafingi dan tim, lebih berkonsentrasi pada riset _Hotspot spasial unmet need_ serta faktor-faktor penentunya. Hasilnya, di antaranya terlihat dalam bentuk saran. Disarankan perlu dilakukan audit bagi kabupaten/kota yang masuk ke dalam wilayah _outlier_ karena dinilai belum berhasil menangani _unmet need_.

 

Maka, perlu juga dilakukan wawancara mendalam kepada kepala daerah, petugas KB, atau tokoh masyarakat setempat untuk menemukan inovasi lokal yang dapat diadaptasi dan penting dipromosikan ke wilayah _hotspot_.

 

“Terapkan sistem pemantauan dini, misalnya berdasarkan pelaporan bulanan _unmet need_ dari Puskesmas.” Tujuannya, mendeteksi pergeseran pola _unmet need_ agar masalah tidak menyebar dan berubah menjadi _hotspot_ pada periode analisis berikutnya.

 

• Pemakaian Kontrasepsi Modern

 

_Socio-demographic Correlates of Contraceptive Use among Young Women_ adalah isu yang coba ditelisik Sari Kistiana dan tim. Peneliti BRIN itu dalam risetnya mengungkap bahwa prevalensi pemakaian kontrasepsi modern tergolong moderat, tercatat 57%. Sayangnya tidak merata ,di mana 16% di Papua hingga 65% di Kepulauan Bangka Belitung.

 

Juga diketahui bahwa metode kontrasepsi modern yang paling banyak digunakan adalah suntikan 74%, diikuti pil 11% dan implan 9%. Sebagian besar wanita muda (43%) menyatakan tidak menggunakan kontrasepsi modern, dengan alasan ingin hamil 77%, alasan kesehatan 7%, dan efek samping 6%.

 

Riset itu juga menampilkan data, bahwa wanita muda dengan jumlah anak masih hidup dua, tinggal di Pulau Jawa, berpendidikan SMP, berusia 15-19 tahun, tidak bekerja dan memiliki BPJS-non PBI (Penerima Bantuan Iuran) memiliki peluang lebih besar untuk menggunakan kontrasepsi modern.

 

Ia mengatakan, intervensi perlu memperhatikan segmentasi target. Riset lebih lanjut diperlukan untuk memahami hambatan dalam akses dan penggunaan kontrasepsi di wilayah Maluku dan Papua, terutama Papua dan Papua Barat.

 

Demikian pula perlunya riset terkait implikasi kebijakan untuk memperkuat akses dan informasi layanan KB yang fokus pada remaja dan anak muda. Terutama di wilayah Indonesia Timur (wilayah Maluku dan Papua). Penting juga perluasan layanan KB yang ramah bagi pasangan muda yang baru menikah.

 

Pemerintah juga dianjurkan meningkatkan layanan konseling dan pendampingan, terutama setelah kelahiran anak pertama; memperluas literasi kesehatan reproduksi yang komprehensif melalui media digital dan kegiatan berbasis komunitas; dan memperkuat layanan konseling yang ramah bagi anak muda untuk mengatasi misinformasi dan rasa takut.

 

• Hidupkan Kembali KB Pria

 

Sementara Peneliti BRIN Desy Nuri Fajarningtiyas dan tim mengangkat riset untuk mencari jawab terkait _Are Indonesian Men Afraid of Contraception?_ Hasilnya, ia menyampaikan saran pentingnya pemberian materi edukasi kontrasepsi pria dengan mempertimbangkan kelompok umur pasangan, agar pemilihan kontrasepsi lebih efektif.

 

Juga reintensifikasi pelibatan organisasi profesional dan tempat kerja serta asosiasi wirausaha untuk mempromosikan kembali vasektomi. Ia juga menyorot strategi menghidupkan kembali “Kelompok KB Pria” dengan mengoptimalkan teknologi informasi dan sosial media (konten Tik tok, Instagram, dsb).

 

Perlu ada penelitian kualitatif yang dapat menjawab bagaimana hubungan antara faktor sosial, budaya, agama, dan faktor program untuk memberikan informasi yg tepat mengenai strategi KB yang transformatif gender.

 

• Kehamilan Tak Diinginkan

 

Lain lagi Peneliti BRIN Yuly Astuti dan tim yang lebih tertarik soal Prevalensi dan Determinan Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) dalam risetnya. Diketahui, angka KTD nasional 10,7%; di Papua-Papua Barat 14,5%, terendah di Nusa Tenggara 7,9% dan wilayah Jawa-Bali menyumbang 59,9% dari total KTD nasional.

 

Adapun faktor utama KTD berlatarbelakang usia ibu, pekerjaan, pendidikan, jumlah anak, akses informasi KB, tempat tinggal, dan asuransi kesehatan. Diketahui, perbedaan signifikan terjadi pada efek pendidikan (signifikan di Luar Jawa-Bali) dan faktor sosial budaya.

 

Upaya pencegahannya, direkomendasikan Peneliti BRIN berupa perluasan pendidikan reproduksi, peningkatan akses, dan informasi kontrasepsi yang komprehensif, mendorong penggunaan Metode Kontrasepsi Jangka Panjang.

 

Selain itu, memperkuat peran Puskesmas dan bidan mandiri dalam konseling serta meningkatkan penyediaan MKJP; merancang program KB yang menyesuaikan dengan nilai sosial-budaya dan karakteristik wilayah agar lebih diterima. * ( Wulanda)

 

 

 

(

Show Comments (0)
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *