Hardnews

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang

MILEZONE.ID – Kampung Kalipasir merupakan kampung tua yang terletak di RW 04 Kelurahan Sukasari Kota Tangerang, Banten.

Keberadaan kampung ini terpencil di antara perkembangan ekonomi di Kota Tangerang, yang kini dikenal dengan wisata kulinernya. Namun dibalik keberadaannya yang kurang dikenal oleh masyarakat Kota Tangerang secara umum, kampung ini memiliki sejarah yang tak terlepas dengan sejarah Tangerang.

Ada beberapa hal yang terkait kampung ini memiliki sejarah Kota Tangerang, yakni adanya Masjid Jami Kalipasir yang merupakan masjid tertua di Tangerang. Komplek masjid ini meliputi bangunan masjid yang memiliki bagian yang sudah berusia ratusan tahun dan juga komplek makam kuno, makam para tokoh dimasa kesultanan Banten.

Dengan tradisi masyarakat yang melekat di dalamnya, dengan kebudayaan sunda dan keagamaan (Islam) yang secara turun temurun di lestarikan hingga kini, dari generasi ke generasi.

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang
Pemerintah merencanakan Kalipasir sebagai kampung sejarah, karena berkaitan erat dengan rekam jejaknya, khususnya Tangerang. (Foto: Istimewa)

“Pemerintah merencanakan Kalipasir sebagai kampung sejarah, karena berkaitan erat dengan rekam jejaknya, khususnya Tangerang. Berdasarkan riwayat atau sejarah yang disampaikan leluhur-leluhur kami, sebelum ada Kota Tangerang, tanah ini (Kalipasir) sudah ada dan penyebaran Islam itu sudah ada di sini,” ujar budayawan, Raufi Syarofi.

“Pengakuan kesultanan Banten terhadap tanah ini yakni dengan memberikan tanda sebagai bentuk kekeluargaan dan kekerabatan, seperti yang ditempelkan atau disematkan di kubah masjid, yang disebut baluwarti yang berasal dari kata baluarte yang berarti benteng, atau benteng pertahanan.”

“Kenapa orang tua-orang tua kami menyebutkan benteng pertahanan? Karena ini erat kaitannya dengan benteng pertahanan diri dengan melaksanakan ibadah ritual sholat dan segalam macam yang mendekatkan kepada Allah,” tambahnya.

Disebutkannya, pada masa karuhun, Tangerang sudah menjadi kota pelabuhan yang tingkat kesibukannya urutan ketiga setelah Sunda Kelapa dan Banten. Dan sungai Cipamunggas (Cisadane) menjadi jalur transportasi pengiriman hasil bumi yang didagangkan menuju pelabuhan besar seperti pelabuhan Banten melalui muara.

Sebagai kota pelabuhan interaksi antara kaum pribumi dengan para pedagang dari luar terjalin dengan baik, sehingga Islam diterima oleh kaum pribumi (Sunda) dengan baik. Awal daerah Kalipasir ialah daerah yang dibuka atay disinggahi oleh Ki Tangger Djati pada 1412, Ki Tangger Djati adalah seorang Menak Galuh yang lebih memilih menjalani hidup sederhana dan meninggalkan kehidupan lingkungan istana.

“Ki Tangger Djati putra dari Raja Galuh yang diasuh oleh Rahyang yang tinggal di Gunung Galunggung, sebagai putra raja ilmu kepemimpinan dan kanuragan sudah pasti di milikinya, namun beliau memilih untuk mencari ilmu ketenangan jiwa, karena dorongan tersebut beliau meninggalkan kehidupan istana dengan melakukan perjalanan dari tatar sunda hingga pelosok jawa, hingga akhirnya bertemu dengan Syech Subaqir di tengah jawi, setelah menimba ilmu sebagai murid dari Syech Subaqir, beliau meneruskan perjalanan untuk menyebarkan Islam ke daerah girang (Banten/Wahaten Girang), setibanya beliau di suatu tempat, beliau membuka lahan dan mendirikan tempat, yang kemudian daerah tersebut dikenal dengan sebutan patilasan Ki Tangger Djati kala itu,” urainya.

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang
Komplek Masjid Jami Kalipasir meliputi bangunan masjid yang memiliki bagian yang sudah berusia ratusan tahun dan juga komplek makam kuno. (Foto: Istimewa)

Lebih lanjut, ungkap Raufi, patilasan Ki Tangger Djati berada di tepi sungai Cipamunggas, dimana Sungai Cipamunggas yang menjadi pertahanan kerajaan Sunda di Pakuan, kerajaan yang kemudian hari dikenal dengan nama kerajaan Padjajaran.

“Nama patilasan Ki Tangger Djati tidak berlangsung lama, karena pada 1455-1467, Sayyid Hasan ‘Ali Al-Husaini/Syech Abdul Jalil seorang yang memiliki ilmu agama Islam yang berasal dari Persia melakukan syiar Islam di Nusa Jawa ke daerah girang (Banten) dengan maksud membuka dan mendirikan padukuhan-padukuhan Islam, sebelum sampai ke wahaten girang beliau singgah di padukuhan Ki Tengger Djati (1465) berbekal amanah dari guru beliau pada saat itu untuk menanamkan aqidah Islam yang kuat di Tanah Nusantara melanjutkan tugas pendahulu (para wali) sebelum masa beliau, dengan cara memadukan pasir yang dibawa dari Irak dengan tanah yang ada di tempat di mana beliau bersyiar tau berda’wah, syariatnya agar ajaran Islam terlarut dalam kehidupan dan kebudayaan yang ada di tempat tersebut.”

Sehingga kala itu timbul nama “tanah pasir” yang sebelumnya disebut dengan patilasan Ki Tangger Djati, yang kemudian dikenal dengan Kalipasir.

“Beliau membuat Tajug menggantikan tempat ibadah yang ada (Patilasan Ki Tengger Djati), Tajug tersebut menjadi tempat singgahnya para wali dalam perjalanan ke banten. Bahkan disebutkan sebagai abdi seorang murid kepada gurunya, kanjeng Sunan Kalijaga memberikan atau membuat salah satu tiang di Tajug tersebut dengan karomah dan keilmuaannya yang tidak tersentuh oleh tangan di dalam mendirikannya Wallahu’alam hanya Allah yang Maha mengetahui.”

“Penuturan berikutnya ‘KH Thobary Syadzily’ dalam keterangannya menyebutkan Masjid Jami Kalipasir dibangun pada 1576 Masehi, kala itu daerah Kalipasir (Tangerang) merupakan wilayah perbatasan Kesultanan Banten. Adapun pendirinya hidup sejaman dengan Sultan Maulana Hasanudin berdasarkan bidang arsitektur secara umum, mengartikan penunjukan angka atau tulisan yang teridentifikasi dalam sebuah bangunan tua merupakan tahun atau angka selesainya bangunan tersebut dibangun atau direnovasi.”

Dikatakannya, Tajug Syech Abdul Jalil menjadi tempat persinggahan para waliyullah dalam perjalanan ke Banten sekitar 1520 sebelum Sunda Kelapa di taklukan dan di ganti namanya dengan nama Jayakarta oleh Fatahilah.

“Beliau di titahkan oleh Sunan Gunung Jati untuk menemui putranya yang bernama Pangeran Sabakinking di Banten. Karena Pangeran Sabakinking mengetahui seluk beluk daerah Sunda Kelapa dan sekitar Banten, sehingga Fatahilah dianggap perlu untuk berkoordinasi dengan Pangeran Sabakinking dalam melakukan penyerangan ke Sunda Kelapa. Sebelum sampai ke Banten, Fatahilah di amanatkan untuk singgah ke Tanah pasir atau Kalipasir, bersilaturahmi kepada salah satu guru beliau disana dan memberikan ciri bhakti murid kepada guru. Ke empat tiang tajug tanah pasir atau kalipasir pemberian dari Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Raden Qosim dan Fatahilah sebagai ciri bakti mereka kepada guru mereka yaitu Syech Abdul Jalil.”

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang
Masjid Jami Kalipasir yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi ini kini sudah berusia lebih dari 455 tahun. (Foto : Istimewa)

Raufi menjelaskan, ke empat tiang tajug tanah pasir atau kalipasir pemberian dari Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, Raden Qosim dan Fatahilah sebagai ciri bakti mereka kepada guru mereka yaitu Syech Abdul Jalil. “Masjid di daerah Banten (Tangerang) perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukan masyarakat Muslim, dan tumbuhnya kepemimpinan daerah yang ditempatkan oleh kesultanan Kekuatan tentang ini didukung oleh suatu kenyataan sejak abad 15 di daerah perbatasan Banten tumbuh kantong-kantong pemukiman Muslim (Hoesein Djajadiningrat),” cetus Raufi.

Masjid Jami Kalipasir yang diperkirakan dibangun sekitar tahun 1500-an Masehi ini kini sudah berusia lebih dari 455 tahun, tetapi tetap berdiri kokoh di tengah pemukiman masyarakat modern. Berlokasi tepat berseberangan dengan Sungai Cisadane yang menjadi jalur perdagangan antara Timur Tengah dan Asia pada abad ke-16. Masjid ini juga bersebelahan dengan Klenteng Boen Tek Bio yang sudah berdiri sejak zaman Belanda.

“Penyebaran Islam itu bila dilihat memang lebih cenderung berdekatan dengan sumber mata air. Salah satunya adalah sungai. Di samping itu, sungai dahulu digunakan sebagai jalur transportasi atau alat penyebaran pemahaman agama.”

“Sebenarnya kalau dilihat dari bentuknya sekarang, kali dengan Masjid itu dulu sangat jauh, tidak berdekatan seperti saat ini. Dan Sungai Cisadane menurut leluhur kami awalnya itu namanya bukan Cisadane, tapi Sungai Cipamunggas.”

“Kenapa? Karena ternyata di data atau arsip sekalipun tidak mencantumkan Sungai Cipamunggas, dan yang ada itu Sungai Cisadane. Menurut riwayat, Cipamunggas itu adalah jalur pertahanan terakhir untuk istana atau kerajaan Padjajaran. Karena Tangerang sendiri berdekatan dengan Padjajaran pada saat itu. Jadi ini adalah batas antara Padjajaran dengan Kesultanan Banten,” ungkap Raufi.

Selain itu, salah satu bukti perjalanan waktu tampak di halaman masjid terdapat area permakaman umum. Pemakaman telah ada bersamaan berdirinya masjid. Ukuran pemakaman tak luas, hanya beberapa ratus meter persegi. Namun, jumlah umat Muslim yang dimakamkan di dalamnya sudah tak terhitung.

Tanah makam merupakan wakaf para pendiri masjid. Di pemakaman ini terdapat pula makam tokoh-tokoh bersejarah seperti makam putra Raden Wahyu Pena yang merupakan Bupati Ketiga Kota Tangerang, Raden Ahyat Pena dan keluarganya seperti Patih Pena, Ajub Pena, dan Iskak Pena. Selain itu, terdapat 12 makam tertua, tiga makam dari keturunan Kerajaan Padjadjaran, dan enam makam keturunan Raja Sumedang dari Pangeran Geusan Ulun, sebagai raja kedelapan atau terakhir.

Sementara itu, tiga lainnya merupakan makam istri Raja Banten ke-6 Sultan Agung Tirtayasa, yakni Nyi Raden Uria Negara, makam tokoh Palang Merah Indonesia yang ikut bergerilya di Balaraja yaitu Nyi Raden Juhariah, dan makam Hajah Murtafiah, yang merupakan pendiri pesantren perempuan pertama se-Jawa.

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang
Di area Masjid Jami Kalipasir tedapat makam Nyai Hajah Murtafiah, yang merupakan pendiri pesantren perempuan pertama se-Jawa. (Foto: Istimewa)

Raufi mengungkapkan, pada masa perkembangan Islam dan perjuangan Islam melawan penjajah di tanah pasundan dan banten, pada 1825 diyakini Syekh Nawawi Al-Bantani pernah singgah di Masjid Jami Kalipasir dan membetulkan arah kiblat masjid. “Jelas terlihat arah kiblat Masjid Jami Kalipasir tidak sejajar dengan bangunan masjid, kami meyakini akan hal itu karena salah satu murid beliau berasal dari Kalipasir yang bernama Nyi Guru Hajah Murtafiah binti KH. Asnawi.”

“Selain murid dari Syekh Nawawi, Nyai Guru Hajah Murtafiah merupakan sepupu dari Syekh Nawawi Al-Bantani, beliau adalah putri dari Syekh Asnawi Tanahara. Nyi Guru Hajah Murtafiah belajar kepada Syekh Nawawi Al-Bantani secara langsung di Tanah Suci Mekkah, kala itu usia beliau masih remaja. Beliau mendirikan pesantren putri bernama Tarbiatul Ummah, beliau merupakan guru (Ustadzah se-tangerang bahkan se-jawa). Nyai Guru Hajah Murtafiah adalah seorang Guru Besar (Waliyullah) kelahiran Tangeran tepatnya di Kampung Sejarah Kalipasir.”

“Beliau merupakan Dzuriat Rasul dari garis keturunan Kesultanan Banten dan Kesultanan Banjar. Beliau dilahirkan oleh seorang ibu yang bernama Hajah Manawijah dan ayahnya bernama KH Asnawi, beliau keturunan Kesultanan Banten dari jalur ayah yang bersambung kepada Syech Nawawi Al-Bantani dan dari ibu beliau memiliki keturunan yang bersambung ke Kesultanan Banjar, sehingga beliau memiliki 2 nasab
yang istimewa dari orang orang Alim atau Sholeh,” terangnya.

Raufi juga menyebutkan, Hajah Nyai Guru Hajah Murtafiah merupakan pendiri sekaligus pengasuh Pondok Pesantren Khusus Perempuan di tanah Tangerang bahkan mungkin di tanah Jawa. “Banyak murid beliau yang berasal dari berbagai daerah Tangerang dan penjuru Tanah Air, baik Pulau Jawa, bahkan dari luar pulau Jawa. Seperti Palembang, Padang, Banjar dan lain lain. Beliau menikah dengan seorang Ulama yang berasal dari Lengkong Sumedang/Lengkong Kiayi yang bernama KH Muhammad Rais Bin KH Muhammad Hasan, suami beliau masih keturunan Banten dan Demak. Dari pernikahan mereka tidak di karuniai keturunan, Allah SWT sangat sayang kepada mereka dengan menjaga Nasab keturunan berhenti pada mereka.”

“Adapun amalan-amalan yang beliau ajarkan selain tafsir Qur’an, beliau mengajarkan sifat-sifat 20, Balbuminan berbahasa Sunda dan Yasiin Fadhilah, dan juga kitab kitab kajian lain. Beliau wafat pada bulan Shofar 1972, setelah wafat pesantren diteruskan pengelolaannya oleh keponakan beliau yaitu KH Basyuni Kadir dan istrinya Hajah Neneng Asyiah hingga keduanya wafat pada 1980. Pesantren Khusus Perempuan yang di asuh oleh Nyai guru Hajah Murtafiah bernama Tarbiatul Ummah, setelah Pesantren di lanjutkan oleh keponakan beliau berganti nama dengan nama Al-Maslahat.”

“Sangat disayangkan setelah mereka wafat Pesantren tidak ada yang meneruskan dikarenakan beliu tidak memiliki keturunan. Seiring perjalanan waktu, Ahamdulillah Atas perjuangan Nyai Guru Hajah Murtafiah tumbuh Nyai-Nyai Guru penerus dari alumni terdahulu hingga yang terakhir, mereka dari alumni banyak yang mendirikan pesantren diwilayahnya masing-masing, berkah karomah Nyai Guru Hajah Murtafiah, pesantrenpesantren tersebut masih berjalan sampai sekarang.”

“Walaupun yang sudah sepuh dan banyak yang sudah wafat, tapi anak-cucu-mantu para alumni masih terus melanjutkan pengasuhan Pesantren. Sementara di Kalipasir setelah wafatnya keponakan Nyai Guru,
nama Pesantren Al-Maslahat diganti menjadi Majlis Ta’lim Al-Maslahat yang di pimpin oleh Ustajah Hajah Hapsah sekitar 1990 sampai 2014, kemudian Majlis ta’lim di serahkan kepada Hajah Dewi Syarah sampai saat ini.”

“Untuk mengenang perjuangan dan kasih sayang pengajaran Nyai Guru Hajah Murtafiah maka Majlis Ta’lim di Kalipasir diganti namanya dengan nama Nyai Guru yaitu Majlis Ta’lim Al-Murtafiah hingga saat ini.”

Kali Pasir, Jejak Masjid Tertua dan Pusat Penyebaran Islam di Tangerang
Pemakaman telah ada bersamaan berdirinya Masjid Jami Kalipasir. (Foto: Istimewa)

Raufi menambahkan, acara haul menjadi waktu untuk saling bersilaturahmi antara para jama’ah Majlis Al-Murtafiah di Kalipasir dan para alumni pesantren Nyai Guru, dan murid-muridnya, dari segala penjuru kota dan pulau. “Haul Nyai Guru Hajah Murtafiah tiap tahun memang dilaksanakan bertepatan dengan wafatnya beliau di bulan Shofar. Saat haul biasanya diikuti oleh pesantren-pesantren yang didirikan murid dari Nyi guru yang tersebar di Banten, tetapi ada juga yang berasal dari Palembang, Kalimantan, dan beberapa daerah lainnya,” tukas Raufi.

Show Comments (0)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *